Oleh : Al-Ghazzali(1097)
“Setiap orang yang bersedia mengamati secara seksama akan melihat bahwa kebahagiaan selalu berhubungan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Setiap indra diri kita senang dengan sesuatu yang memang untuk itulah indra tersebut diciptakan: hawa nafsu senang memenuhi hasrat, amarah senang membalas dendam, mata senang melihat objek objek indah, dan telinga senang mendengar suara suara yang harmonis. Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah merasakan kebenaran; karenanya ketika merasakan kebenaran jiwa manusia menemukan kegembiraannya.”
Al Ghazzali yang Lahir tahun 1058 di Iran bagian utara, dianggap sebagai salah satu tokoh berpikiran maju di zamannya, di awal usia 30-an ia diangkat sebagai profesor ilmu hukum Islam di Bagdad’s Nizamiyyah College, sebuah posisi yang sangat terhormat.
Sepanjang hidup ia selalu ingin mengetahui “realitas sebagai hal secara mendalam” dan kemampuan otaknya telah menuntunnya pada kemasyuran. Tetapi tepat di puncak karirnya, ia mulai ragu bahwa kemampuan penalarannya sungguh sungguh menuntunnya pada kebenaran. Ghazzali mengalami semacam krisis spritual dimana ia tidak lagi yakin dengan apa yang dia ketahui.
Malam gelap dan epifani
Di masa penuh keraguan ini, Ghazzali melihat bahwa kesaksian indra seringkali salah, dikalahkan oleh sejumlah kebenaran yang lebih tinggi. Walaupun misalnya, sebuah bintang dilangit tampak kecil, matematika membuktikan bahwa bintang tersebut sebenarnya jauh lebih besar daripada Bumi. Begitu juga ketika sedang bermimpi kita bisa melihat dan merasakan hal hal yang hebat, tetapi ketika kita terjaga kita sadar bahwa semua itu tidak nyata. Ia bertanya tanya apakah penalaran yang kita gunakan untuk menyusun dan menjelaskan realitas kita sehari hari juga tampak seperti ilusi jika dilihat dari tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Ghazzali teringat dengan pernyataan Nabi Muhammad, “Manusia sedang tertidur; ketika sekarat mereka terbangun”. Artinya hanya dengan kematian dan dengan meninggalkan pikiran nalar maka tabir ilmu akan terangkat dan kita bisa melihat kebenaran untuk pertama kalinya.
Di tengah perenungan ini Ghazzali mendapatkan epifani. Suatu kilasan cahaya seperti menembus hatinya, dan dalam sekejap “argumen rapi” yang selama ini menjadi pegangannya dalam realitas menjadi tidak berarti dibandingkan dengan pengalamannya tentang kebenarannya sejati.
Menemukan bukti Tuhan
Bagaimanapun juga pengalaman ini sendiri tidak cukup membantu dirinya, dan iapun memulai program yang melelahkannya, yaitu membaca dan meneliti untuk menemukan sekolah filsafat, agama, atau mistitisme yang paling mendekati kebenaran yang ia telah saksikan. Penelitian ini berkembang menjadi karyanya yang monumental, The Revival of Religious Sciences, yang secara progresif membuktikan ketidakbenaran setiap sekolah ajaran filosofis kecuali Sufisme, yang dimatanya menyediakan jalan yang tidak terlihat oleh Islam untuk merasakan Tuhan. Pencarian ini memakan lebih dari satu dekade dari kehidupannya, dan baru kembali untuk mengajar bertahun tahun kemudian.
The Alchemy of Happiness
Usaha Ghazzali untuk menghidupkan kembali agamanya mendapat perhatian penuh dan ia diberi gelar khusus Hujjat-el Islam, atau “Bukti Islam”. Mengingat bahwa sebagai mistikus sufi ia berada di luar aliran utama Islam, maka gelar ini benar benar penghormatan. Seperti Aquinas bagi umat Kristen Abad Pertengahan, demikianlah Ghazzali bagi dunia muslim di awal abad Pertengahan, kecuali bahwa pemikirannya juga sangat berpengaruh di Eropa, di mana ia dikenal dengan nama Algazel.
Meski dalam hal teologi ia sangat maju, salah satu aksinya yang lebih bijaksana adalah membuat rangkuman The Revival of Religious Science agar bisa menggapai kalangan yang lebih luas. Hasilnya adalah The Alchemy of Happiness, dimana empat bab pertama mengikuti Hadist, membahas kemustahilan kebahagiaan sejati tanpa relasi yang dekat dengan Tuhan. Meski buku ini sekarang relatif tidak dikenal di dunia barat, tetapi selama sembilan abad buku ini terus menjadi salah satu risalah tentang Islam yang inspirasional.
Ghazzali mengawali bukunya dengan menyatakan empat unsur dalam metamorfosis yang mengubah manusia biasa “dari hewan menjadi Malaikat” :
- Pemahaman diri
- Pemahaman tentang Tuhan
- Pemahaman tentang dunia seperti apa adanya
- Pemahaman tentang dunia yang akan datang seperti apa adanya
Pemahaman diri
Ghazzali mengarahkan perhatian kita pada fakta sederhana bahwa hingga kita mengetahui sesuatu tentang diri kita sendiri, kita tidak akan bisa memenuhi potensi kita sebagai manusia. Kunci untuk memahami diri adalah hati – bukan hati secara fisik melainkan hati yang diberikan Tuhan kepada kita, yang “datang ke dunia ini sebagai pengelana mengunjungi negeri asing..dan akan segera kembali ke negeri asalnya”.
Kehilangan hati kita dalam hal dan urusan duniawi berarti melupakan asal kita, karena memahami hati yang diberikan Tuhan akan memberi kesadaran sejati tentang siapa diri kita dan mengapa kita ada disini. Ketika orang membiarkan hasrat menguasai dirinya, maka orang itu seperti “menyerahkan malaikat ke dalam kuasa seekor anjing”. Menggunakan analogi yang lain, ia menunjukkan bahwa sama seperti besi yang digosok bisa berubah menjadi cermin, maka pikiran yang disiplin bisa menghilangkan karat mental dan spiritual, dan bisa terus diasah hingga sungguh sungguh memancarkan cahaya ilahi.
Manusia senang menggunakan indra indra yang diberikan kepada mereka, dan terus berusaha untuk menyenangkan indra tersebut. Tetapi mereka tidak mengenal kegembiraan yang jauh lebih besar yang berasal dari pemahaman tentang diri dan Tuhan. Para orang suci dan mistikus bergembira karena sebuah alasan.
Seseorang yang tidak memperhatikan jiwanya adalah seorang pecundang baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Sebaliknya seseorang yang bisa meningkatkan dirinya dari tingkatan seekor hewan ke kesadaran yang lebih tinggi terlibat dalam suatu proses alkemi pribadi yang akan memberi mereka kebahagiaan. Memang sulit, karena kita cenderung tertarik denganhal yang tidak baik bagi kita, sementara hal hal yang baik bagi kita “tidak bisa didapat tanpa kerja keras dan usaha”.
Pemahaman tentang Tuhan
Ghazzali merujuk pada sebuah kalimat dalam Alquran : ” Tidakkah tampak oleh manusia bahwa ada saat dimana ia bukan siapa siapa?” Banyak orang menolak melihat alasan sesungguhnya mereka diciptakan. Ia mengibaratkan seorang fisikawan seperti seekor semut yang berjalan diatas selembar kertas, melihat huruf yang tertulis diatasnya, dan meyakini bahwa huruf itu hanyalah karya sebuah pulpen.
Walau semua hasrat jasmani lenyap segera setelah kita meninggal, semua pemahaman yang kita miliki tentang Tuhan dalam hidup kita tidak ikut mati; pemahaman itu menjadi bagian jiwa kita dan terus bersama kita selama lamanya. Tuhan menghargai ibadah kita, tetapi jika kita jarang beribadah bukan berarti Tuhan akan menjadi lemah, melainkan kita sendiri yang akan lupa siapa diri kita; yaitu makhluk spiritual yang diperintahkan untuk menjalani hidup seorang manusia.
Pemahaman tentang dunia
Ghazzali melihat bahwa sebagian besar orang tidak mengambil keputusan besar mengeluarkan diri dari jalan mereka dan beralih pada Tuhan. Mereka memulainya dengan hal hal kecil, tetapi hal hal kecil ini tumbuh besar dan akhirnya menguasai orang tersebut. Ia mengumpamakan tubuh seperti seekor unta yang digunakan jiwa dalam perjalanannya mengarungi kehidupan. Jiwa harus merawat tubuh sama seperti seorang peziarah menjaga unta yang ditumpanginya. Meski demikian jika peziarah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk merawat hewan itu, memberi makan dan menghiasnya, alih alih mencapai tujuan mereka, mereka berdua justru akan mati di padang gurun.
Pemahaman tentang dunia yang akan datang
Menurut Alquran, jiwa diturunkan ke dunia untuk memperoleh pemahaman yang lebih besar dan pengalaman. Mereka diminta untuk tidak merasa takut ataupun panik, melainkan menunggu instruksi Tuhan tentang bagaimana harus menjalani hidup. Mereka yang tidak mengikuti nasihat ini akan memandang kehidupan seperti neraka, karenanya Alquran berkata, “Neraka mengelilingi mereka yang tidak percaya”.
Ghazzali menuliskan bahwa hewan di Bumi dan malaikat di surga tidak bisa mengubah tingkatan atau tempat yang sudah ditentukan bagi mereka– tetapi manusia bisa memilih merendahkan diri ke tingkatan hewan melalui perbuatan mereka, atau dengan cara yang sama melonjak hingga ke tingkatan malaikat. Kehendak bebas ini menjadi tanggung jawab manusia, artinya kita harus memikirkan bagaimana kita seharusnya menjalani hidup ini, alih alih eksis dalam sebuah kesadaran otomatis.
Kata penutup
Meski ia seorang mistikus besar yang merasakan langsung misteri spiritual, pengaruh Ghazzali berasal dari kemampuannya memaparkan bahwa Tuhan memiliki alasan. Walau ia dijuluki sebagai “Bukti Islam”, karyanya sebenarnyamemberikan argumen sempurna bagi kebenaran setiap agama; dan sebagai alat untuk memikat orang yang ragu ragu atau umat yang keliru, The Alchemy of Happiness sulit dikalahkan.
Kekuatan karya Ghazzali terletak pada kemampuannya meciptakan gambar dalam pikiran untuk mendeskripsikan poin spiritual atau filsafat yang sulit dimengerti. Hal ini diketahui oleh penyair besar sufi, Rumi, yang dalam karyanya yang terkenal, Masnawi, meminjam beberapa alegori dari The Revival of Religious Science.
Apa yang diwariskan Ghazzali? Ia merasa bahwa budaya Islam telah kehilangan maknanya, orang hanya sekedar menjalankan ibadah tetapi tidak sungguh sungguh mingi mengubah diri mereka. Upaya yang ia lakukan untuk mengembalikan iman ini memiliki konsekuensi yang besar, karena membangkitkan kekecewaan filosofi sekuler di dunia muslim. Bila Eropa barat perlahan bergerak ke arah pemisahan antara gereja dan negara, kebangkitan spiritual Islam bergerak ke arah kesatuan antara iman muslim dan institusi kelompok masyarakat.
Tetapi pesan yang lebih besar dari The Alchemy of Happiness, tak perduli apakah kita muslim atau bukan, adalah bahwa kebahagiaan sejati diperoleh dengan memahami bahwa kita adalah makhluk ciptaan Tuhan, dan karenanya diciptakan untuk sebuah tujuan. Kedamaian diperoleh dengan mengetahui bahwa kita hanyalah “pengelana di negeri asing” dengan sebuah tujuan sebelum kembali ke dunia non fisik yang menjadi asal dari segala sesuatu.
Selain sangat memperhatikan kebersihan hati (sufism) Al Gazali juga sangat concern tentang tata cara ibadah yang benar (fikih) seperti berwudlu, shalat, puasa, tata krama dalam bergaul dsb. seperti dalam bukunya ‘Bidayah al Hidayah”.
Menunjukan bahwa beliau merupakan penganut Islam yang taat beribadah sembari terus menerus menyelidiki dan membersihkan hati sehingga merasakan kehadiran Tuhan.
Ada ga ya nih mas DVDnya??